Maaf Saya Subyektif Soal Jokowi
OPINI | 24 March 2014 | 12:11 Dibaca: 4751 Komentar: 95 65
Tulisan ini subyektif. Saya
mencoba bicara soal Joko Widodo dari kacamata manajemen. Tentu saja ada
risiko memancing emosi sebagian pembaca karena timingnya bertepatan
dengan hiruk pikuk politik.
Sangat
mungkin tulisan ini bakal dikesankan sebagai keberpihakan pada Joko
Widodo. Apa boleh buat. Itu hanyalah konsekuensi analisa yang mengerucut
pada kesimpulan perasaan seperti itu. Karena itu pagi-pagi saya minta
maaf lebih dulu kalau tulisan ini kurang menyenangkan bagi sebagian
orang.
Sebagai penduduk pinggiran Ibukota RI, perhatian saya mulai timbul pada Joko Widodo ketika dia datang ke Jakarta sebagai salah satu penantang Gubernur petahana. Media
massa banyak memberitakan para calon-calon Gubernur DKI. Saya pun
memberi porsi perhatian yang paling besar kepadanya karena dia paling
menarik untuk diperhatikan daripada calon-calon lain—contoh satu alasan:
kok ada walikota yang berani “menantang” dua gubernur (Sumsel dan DKI)
memperebutkan jabatan Gubernur DKI.
Berita yang segera menyergap perhatian saya yang pertama adalah Joko
Widodo atau Jokowi, terpilih sebagai wali kota terbaik ketiga sedunia
dalam pemilihan World Mayor Project 2012. Ajang ini diselenggarakan oleh
The City Mayors
Foundation, yayasan walikota dunia berbasis di Inggris. Situs resminya
menyebut keberhasilannya mengubah Surakarta dari kota yang banyak tindak
kriminal menjadi pusat seni dan budaya, yang kemudian berhasil menarik
turis internasional untuk datang.
Perhatian
selanjutnya tentang masa lalunya. Lahir di Surakarta (Solo) pada 1961,
Joko Widodo menjalani kehidupan masa kecil yang terbilang
sulit. Keluarga orang tuanya pernah tinggal di bantaran sungai. Ia
pernah mengojek payung, jadi kuli panggul pun pernah. Di saat usia
remaja belia, ia belajar menggergaji kayu dari ayahnya. Kehidupan yang relatif keras di masa kecil dan remajanya itu mengingatkan saya pada kehidupan Howard Schultz, bos Starbucks, di masa kecilnya yang sulit.
Howard
kecil menyaksikan bagaimana ayahnya yang supir truk suatu hari sakit
dan itu artinya berkurangnya pendapatan. Selain itu, ayahnya tidak
memiliki asuransi kesehatan,
sehingga menambah sulit keuangan rumah tangga. Kelak di kemudian hari,
ketika ia menjadi pimpinan Starbuck ia mengatur agar setiap karyawannya
diberi jaminan kesehatan.
Pengalaman
masa kecil mereka berdua membekas hingga dewasa dan membentuk karakter
mereka sebagai pemimpin. Mereka memiliki empati dalam memimpin. Seorang
pakar kepemimpinan (Daniel Goleman)
mengatakan bahwa pemimpin yang berempati, akan bertindak lebih jauh
dari sekedar bersimpati. Mereka, kata Daniel, mendaya-gunakan apa yang
mereka ketahui untuk memperbaiki kondisi organisasi dengan cara yang
halus. Ini harus dibedakan dari tindakan menyenangkan semua orang,
karena memang tidak sama. Pemimpin semacam ini akan mempertimbangkan
faktor perasaan anak buah mereka—di samping faktor-faktor lain—dalam
membuat keputusan penting.
Itulah
yang terjadi ketika Jokowi, saat menjabat Walikota Solo, mengajak para
PKL Solo makan bersama bolak-balik. Dia ingin membuktikan bahwa dirinya
mempertimbangkan perasaan mereka dalam rencana penggeseran lokasi dagang
mereka. Sampai puluhan kali bertemu barulah mereka bisa menangkap
tujuan strategis pak
Walikota demi kepentingan yang lebih luas. Sehingga mereka pun akhirnya
pindah lokasi dagang ke tempat baru dengan hati yang lapang.
Sikap
berempati itu seiring sejalan dengan sikap santunnya. Bagaimana dia
duduk, bagaimana dia berdiri, bagaimana dia berbicara, bagaimana dia
berjalan, bagaimana dia tertawa, semuanya dalam batas-batas yang sopan
dan santun. Ketika upacara pelantikannya sebagai Gubernur DKI selesai,
dia berjalan menuju panggung di halaman. Di panggung itu, dia pun
menghormat kepada masyarakat dengan cara merapatkan kedua tangannya di
depan dadanya. Ia pun membungkuk kepada masyarakat.
Jika
dilihat dari kacamata rakyat, seorang pemimpin yang sukses meraih
jabatan nomor satu, tentu adalah orang penting, bos. Kalaupun dia
berdiri di panggung merayakan keberhasilannya bersama pendukungnya,
tentu wajar dia melambaikan tangannya. Dia adalah bos. Tetapi Jokowi
tidak. Dia menghormat pendukungnya. Itu adalah salah satu moment ketika
rakyat, baik penduduk DKI maupun bukan, melihat bahwa dia adalah seorang
pemimpin yang rendah hati. Itu salah satu moment di mana sebagian
rakyat yang tadinya tidak kenal menjadi jatuh hati.
Ada
banyak moment lain ketika Jokowi dengan tindak-tanduknya membuat
sebagian masyarakat haus akan cerita-cerita atau berita-berita tentang
sepak terjangnya. Oleh karena itu, di seratus hari pertamanya menjabat,
banyak media massa yang mengirim reporternya setiap hari untuk
membuntuti Jokowi. Karena berita dari merekalah yang menjadi salah satu
“menu wajib” bagi sebagian masyarakat untuk dibaca.
Karena
itu, ketika banjir bulan Januari 2013, terjadi jebolnya tanggul kanal
barat di Jl. Latuharhary, banyak reporter yang berada di lokasi
mengikuti Jokowi. Skala kerusakan tanggul itu besar yang terjadi di pagi
hari dengan dampaknya terjadi hingga malam saat proses perbaikan
darurat berlangsung. Malam itu Jokowi memergoki seorang reporter wanita
dari sebuah stasiun televisi. Dia terkejut karena reporter itu telah
dilihatnya pagi hari. Kok malam hari masih bertugas, itu yang terpikir
oleh Jokowi.
Wajah
sang reporter sudah menunjukkan kelelahan. Maka Jokowi pun bertanya
kenapa kok belum pulang. Dijawab belum bisa pulang karena ini tugas.
Maka Jokowi pun meminta si reporter itu untuk menelpon atasannya.
Setelah tersambung, Jokowi pun bicara langsung kepada sang atasan,
meminta izin supaya bawahannya yang bertugas dari pagi boleh pulang.
Sang atasan semula tertawa karena ada orang yang memintakan izin untuk
anak buahnya. Setelah Jokowi mengatakan bahwa dia adalah Jokowi (yang
berarti “pak Gubernur”), sang atasan itu pun menjadi serius dan tentu
saja mengizinkan.
Keesokan
harinya, sang reporter membuat catatan tentang pengalamannya “ditolong”
Gubernur DKI dan memuatnya di media sosial. Dia menceritakan tentang
pak Jokowi yang sederhana dan rendah hati. Segera saja, ceritanya
menyebar cepat sehingga dibaca oleh puluhan ribu orang. Ini adalah salah
satu contoh tentang pemimpin yang berempati.
Jika dilihat dari kacamata pakar kepemimpinan yang lain, yaitu James Kouzes dan Barry Posner, Jokowi memenuhi karakteristik honest, forward-looking, inspiring, dan competent.
Keempatnya adalah karakteristik teratas yang dari survei atas
responden-responden dari Timur dan Barat sebagaimana dimuat dalam buku
“The Leadership Challenge” yang terbit pertama kali 1982. Dari
survei-survei yang sama yang dilakukan kemudian hingga awal 2000an,
hasilnya keempat karakteristik itu adalah tetap yang teratas.
Kejujuran
(honesty) pemimpin, menurut Kouzes dan Posner, dilihat pada sikap
berprinsip, etis, dan benar (truthful). Kata lain yang sepadan dengan
kejujuran ini adalah integritas. Integritas/kejujuran Jokowi dapat
dilihat pada contoh penggunaan fasilitas jabatan. Dalam berkendaraan,
misalnya, dia konsisten menggunakan sesedikit mungkin kendaraan. Kalau
bisa satu kendaraan, kenapa harus lebih, begitu prinsipnya. Hanya saja,
dia tak bisa menghindari protokoler secara kaku sehingga masih bisa
menerima tambahan satu mobil pengawal dan satu moge pengawal. Ada contoh
ketika harus pulang kampung ke Solo untuk urusan pribadi, Jokowi naik
pesawat kelas ekonomi dan terbang sendirian. Dia membawa sendiri
kopernya. Banyak penumpang yang terkejut melihat kesederhanaannya bahkan
mereka sampai bertepuk tangan karena kagum.
Berwawasan atau forward-looking, adalah juga karakteristiknya. Program Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar adalah contoh dari karakter forward-looking-nya. Meski masih ada kendala dalam pelaksanaannya, ide kartu-kartu itu sendiri adalah cerminan forward-looking
atau visi. Dengan jumlah penduduk yang kebanyakan kelas bawah, maka
upaya menyehatkan dan memintarkan mereka merupakan langkah penting untuk
menyiapkan penduduk Jakarta menuju daya saing yang sehat.
Apakah
Jokowi itu pemimpin yang mengilhami (inspiring)? Cerita Jokowi menelpon
atasan reporter TV di atas adalah salah satu dari sekian banyak cerita inspiring-nya.
Dalam contoh lain, tak kurang dari seorang guru besar UI, Sarlito
Wirawan Sarwono, memuji Jokowi dalam sebuah tulisannya setelah ceramah
di kampus UI:
“Seusai
kuliah itu saya terus mengikuti kiprah Jokowi, pernah sekali atau dua
kali bertemu dengannya dalam acaraacara tertentu di Solo dan kisah
pemindahan PKL Banjarsari pernah saya jadikan contoh dalam beberapa
tulisan maupun kuliah saya. Kesimpulan saya, Jokowi memang fenomenal.
Walaupun tidak pernah mempelajari ilmu sosial, apalagi psikologi
(kuliahnya dulu di Fakultas Kehutanan, UGM, Yogyakarta), Jokowi
menerapkan kaidah-kaidah intervensi sosial dengan sangat tepat,hanya
berdasarkan akal sehatnya dan komitmennya pada tugas.”
Majalah Fortune, edisi online-nya tanggal 20 Maret 2014 mencantumkan nama 50 pemimpin dunia yang paling hebat—The World’s 50 Greatest Leaders. Bunyi kalimatnya di awal: In
an era that feels starved for leadership, we’ve found men and women who
will inspire you — all of them energizing their followers and making
the world better. Perhatikan kata-kata “we’ve found men and women who will inspire you.” Jokowi tercantum di peringkat 37 sebagaimana terlihat di sini.
Karakteristik
kemampuan (competent) atau kompetensi jelas ada pada diri Jokowi.
Menurut Kouzes dan Posner, karakteristik ini berkenaan dengan rekam
jejak (track record) sang pemimpin dalam membereskan pekerjaannya atau
“getting things done”. Harapan orang pada pemimpinnya adalah sang
pemimpin mengetahui pokok-pokok dalam industrinya atau pasarnya atau
profesinya. Yang paling penting adalah sang pemimpin mau mempelajari
urusan yang dia tangani dan mengetahui operasional dari urusannya itu. Track record
Jokowi jelas tertulis dalam sejarah kota Solo dalam kurun waktu 7 tahun
dia memimpin sebelum pindah ke Jakarta. Salah satunya telah disebutkan
di atas.
Dalam
kurun waktu satu tahun beberapa bulan berikutnya, saat memimpin DKI,
rekam jejaknya pun telah diketahui masyarakat. Mulai dari keberhasilan
mengeruk Waduk Pluit sambil memindahkan penduduk yang tinggal di
pemukiman liar di tepinya. Keberhasilan membersihkan sebuah jalan di
Tanah Abang dari PKL—meski ternyata ada masalah yang berbeda yang muncul
belakangan. Keberhasilan menggerakkan dimulainya program pembangunan
MRT yang ide pertamanya lahir sekitar 25 tahun sebelumnya.
Keberhasilan
menggerakkan dimulainya program pembangunan MRT, dilihat dari kacamata
manajemen, sesuai dengan apa yang dikatakan Peter F. Drucker. Dia
mengatakan: Intelligence, imagination, and knowledge are essential resources, but only effectiveness converts them into results—Kecerdasan,
imajinasi, dan pengetahuan adalah sumber daya sangat penting, tetapi
hanya efektivitaslah yang dapat mengubah ketiganya menjadi hasil. Dengan
perkataan lain, Jokowi yang berpendidikan cukup tinggi (karena jebolan
perguruan tinggi) sudah memiliki ketiga sumberdaya itu ditambah
kapabilitas atau efektivitas yang membuat organisasi yang dipimpinnya
(perusahaan mebelnya, Pemda Solo, ataupun Pemda DKI) mencapai hasil yang
dicanangkan.
Bahwa
soal banjir, sbg salah satu Key Performance Indicator Gubernur DKI,
masih terjadi, masalahnya sangat kompleks yang melibatkan tanggung-jawab
Pemerintah Pusat.
Pembahasan
dari kacamata pendapat Peter Drucker sejalan dengan pendapat Jim Kouzes
dan Barry Posner. Dari sudut pandang mereka, saya menyimpulkan bahwa
Jokowi adalah pribadi yang memenuhi syarat menerima amanah atau amanat
untuk memimpin organisasi apa pun baik skala kecil (seperti perusahaan
mebelnya sendiri) maupun skala besar (seperti Pemda DKI).
Terkait
penunjukan oleh sebuah partai kepadanya untuk maju sebagai salah satu
calon presiden, itu lebih sebagai perwujudan akumulasi kepercayaan
sebagian masyarakat yang menaruh kepercayaan kepadanya. Kepercayaan atau
trust agar dia sudi menerima amanah memimpin. Kita tidak perlu
terlalu risau ada kemungkinan Jokowi bakal dikendalikan Ketua Umum
partai yang bersangkutan. Jokowi bukanlah seorang pemimpin muda yang
sedang belajar memimpin sehingga dikira mudah diatur-atur. Dia telah
terbukti berintegritas. Permintaan yang mementingkan pribadi atau
kelompok atau yang melanggar hukum dan etika tentu bakal ditolak. Ketua
Umum tersebut pernah menjadi Presiden, sehingga sangat mungkin dia
belajar dari kekeliruan yang pernah dia buat (kalau ada) sehingga tahu
persis beratnya tanggung jawab Presiden.
Itulah
yang saya lihat tentang Jokowi atau Joko Widodo. Mohon maaf kalau saya
dinilai subyektif soal dirinya. Dan kalau ada kekeliruan dalam tulisan
saya ini, tolong jangan bantai saya di kolom komentar. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar