Rabu, 26 Maret 2014

JOKO WI

Maaf Saya Subyektif Soal Jokowi

OPINI | 24 March 2014 | 12:11 Dibaca: 4751   Komentar: 95   65
Tulisan ini subyektif. Saya mencoba bicara soal Joko Widodo dari kacamata manajemen. Tentu saja ada risiko memancing emosi sebagian pembaca karena timingnya bertepatan dengan hiruk pikuk politik.
Sangat mungkin tulisan ini bakal dikesankan sebagai keberpihakan pada Joko Widodo. Apa boleh buat. Itu hanyalah konsekuensi analisa yang mengerucut pada kesimpulan perasaan seperti itu. Karena itu pagi-pagi saya minta maaf lebih dulu kalau tulisan ini kurang menyenangkan bagi sebagian orang.
Sebagai penduduk pinggiran Ibukota RI, perhatian saya mulai timbul pada Joko Widodo ketika dia datang ke Jakarta sebagai salah satu penantang Gubernur petahana. Media massa banyak memberitakan para calon-calon Gubernur DKI. Saya pun memberi porsi perhatian yang paling besar kepadanya karena dia paling menarik untuk diperhatikan daripada calon-calon lain—contoh satu alasan: kok ada walikota yang berani “menantang” dua gubernur (Sumsel dan DKI) memperebutkan jabatan Gubernur DKI.
Berita yang segera menyergap perhatian saya yang pertama adalah Joko Widodo atau Jokowi, terpilih sebagai wali kota terbaik ketiga sedunia dalam pemilihan World Mayor Project 2012. Ajang ini diselenggarakan oleh The City Mayors Foundation, yayasan walikota dunia berbasis di Inggris. Situs resminya menyebut keberhasilannya mengubah Surakarta dari kota yang banyak tindak kriminal menjadi pusat seni dan budaya, yang kemudian berhasil menarik turis internasional untuk datang.
Perhatian selanjutnya tentang masa lalunya. Lahir di Surakarta (Solo) pada 1961, Joko Widodo menjalani kehidupan masa kecil yang terbilang sulit. Keluarga orang tuanya pernah tinggal di bantaran sungai. Ia pernah mengojek payung, jadi kuli panggul pun pernah. Di saat usia remaja belia, ia belajar menggergaji kayu dari ayahnya. Kehidupan yang relatif keras di masa kecil dan remajanya itu mengingatkan saya pada kehidupan Howard Schultz, bos Starbucks, di masa kecilnya yang sulit.
Howard kecil menyaksikan bagaimana ayahnya yang supir truk suatu hari sakit dan itu artinya berkurangnya pendapatan. Selain itu, ayahnya tidak memiliki asuransi kesehatan, sehingga menambah sulit keuangan rumah tangga. Kelak di kemudian hari, ketika ia menjadi pimpinan Starbuck ia mengatur agar setiap karyawannya diberi jaminan kesehatan.
Pengalaman masa kecil mereka berdua membekas hingga dewasa dan membentuk karakter mereka sebagai pemimpin. Mereka memiliki empati dalam memimpin. Seorang pakar kepemimpinan (Daniel Goleman) mengatakan bahwa pemimpin yang berempati, akan bertindak lebih jauh dari sekedar bersimpati. Mereka, kata Daniel, mendaya-gunakan apa yang mereka ketahui untuk memperbaiki kondisi organisasi dengan cara yang halus. Ini harus dibedakan dari tindakan menyenangkan semua orang, karena memang tidak sama. Pemimpin semacam ini akan mempertimbangkan faktor perasaan anak buah mereka—di samping faktor-faktor lain—dalam membuat keputusan penting.
Itulah yang terjadi ketika Jokowi, saat menjabat Walikota Solo, mengajak para PKL Solo makan bersama bolak-balik. Dia ingin membuktikan bahwa dirinya mempertimbangkan perasaan mereka dalam rencana penggeseran lokasi dagang mereka. Sampai puluhan kali bertemu barulah mereka bisa menangkap tujuan strategis pak Walikota demi kepentingan yang lebih luas. Sehingga mereka pun akhirnya pindah lokasi dagang ke tempat baru dengan hati yang lapang.
Sikap berempati itu seiring sejalan dengan sikap santunnya. Bagaimana dia duduk, bagaimana dia berdiri, bagaimana dia berbicara, bagaimana dia berjalan, bagaimana dia tertawa, semuanya dalam batas-batas yang sopan dan santun. Ketika upacara pelantikannya sebagai Gubernur DKI selesai, dia berjalan menuju panggung di halaman. Di panggung itu, dia pun menghormat kepada masyarakat dengan cara merapatkan kedua tangannya di depan dadanya. Ia pun membungkuk kepada masyarakat.
Jika dilihat dari kacamata rakyat, seorang pemimpin yang sukses meraih jabatan nomor satu, tentu adalah orang penting, bos. Kalaupun dia berdiri di panggung merayakan keberhasilannya bersama pendukungnya, tentu wajar dia melambaikan tangannya. Dia adalah bos. Tetapi Jokowi tidak. Dia menghormat pendukungnya. Itu adalah salah satu moment ketika rakyat, baik penduduk DKI maupun bukan, melihat bahwa dia adalah seorang pemimpin yang rendah hati. Itu salah satu moment di mana sebagian rakyat yang tadinya tidak kenal menjadi jatuh hati.
Ada banyak moment lain ketika Jokowi dengan tindak-tanduknya membuat sebagian masyarakat haus akan cerita-cerita atau berita-berita tentang sepak terjangnya. Oleh karena itu, di seratus hari pertamanya menjabat, banyak media massa yang mengirim reporternya setiap hari untuk membuntuti Jokowi. Karena berita dari merekalah yang menjadi salah satu “menu wajib” bagi sebagian masyarakat untuk dibaca.
Karena itu, ketika banjir bulan Januari 2013, terjadi jebolnya tanggul kanal barat di Jl. Latuharhary, banyak reporter yang berada di lokasi mengikuti Jokowi. Skala kerusakan tanggul itu besar yang terjadi di pagi hari dengan dampaknya terjadi hingga malam saat proses perbaikan darurat berlangsung. Malam itu Jokowi memergoki seorang reporter wanita dari sebuah stasiun televisi. Dia terkejut karena reporter itu telah dilihatnya pagi hari. Kok malam hari masih bertugas, itu yang terpikir oleh Jokowi.
Wajah sang reporter sudah menunjukkan kelelahan. Maka Jokowi pun bertanya kenapa kok belum pulang. Dijawab belum bisa pulang karena ini tugas. Maka Jokowi pun meminta si reporter itu untuk menelpon atasannya. Setelah tersambung, Jokowi pun bicara langsung kepada sang atasan, meminta izin supaya bawahannya yang bertugas dari pagi boleh pulang. Sang atasan semula tertawa karena ada orang yang memintakan izin untuk anak buahnya. Setelah Jokowi mengatakan bahwa dia adalah Jokowi (yang berarti “pak Gubernur”), sang atasan itu pun menjadi serius dan tentu saja mengizinkan.
Keesokan harinya, sang reporter membuat catatan tentang pengalamannya “ditolong” Gubernur DKI dan memuatnya di media sosial. Dia menceritakan tentang pak Jokowi yang sederhana dan rendah hati. Segera saja, ceritanya menyebar cepat sehingga dibaca oleh puluhan ribu orang. Ini adalah salah satu contoh tentang pemimpin yang berempati.
Jika dilihat dari kacamata pakar kepemimpinan yang lain, yaitu James Kouzes dan Barry Posner, Jokowi memenuhi karakteristik honest, forward-looking, inspiring, dan competent. Keempatnya adalah karakteristik teratas yang dari survei atas responden-responden dari Timur dan Barat sebagaimana dimuat dalam buku “The Leadership Challenge” yang terbit pertama kali 1982. Dari survei-survei yang sama yang dilakukan kemudian hingga awal 2000an, hasilnya keempat karakteristik itu adalah tetap yang teratas.
Kejujuran (honesty) pemimpin, menurut Kouzes dan Posner, dilihat pada sikap berprinsip, etis, dan benar (truthful). Kata lain yang sepadan dengan kejujuran ini adalah integritas. Integritas/kejujuran Jokowi dapat dilihat pada contoh penggunaan fasilitas jabatan. Dalam berkendaraan, misalnya, dia konsisten menggunakan sesedikit mungkin kendaraan. Kalau bisa satu kendaraan, kenapa harus lebih, begitu prinsipnya. Hanya saja, dia tak bisa menghindari protokoler secara kaku sehingga masih bisa menerima tambahan satu mobil pengawal dan satu moge pengawal. Ada contoh ketika harus pulang kampung ke Solo untuk urusan pribadi, Jokowi naik pesawat kelas ekonomi dan terbang sendirian. Dia membawa sendiri kopernya. Banyak penumpang yang terkejut melihat kesederhanaannya bahkan mereka sampai bertepuk tangan karena kagum.
Berwawasan atau forward-looking, adalah juga karakteristiknya. Program Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar adalah contoh dari karakter forward-looking-nya. Meski masih ada kendala dalam pelaksanaannya, ide kartu-kartu itu sendiri adalah cerminan forward-looking atau visi. Dengan jumlah penduduk yang kebanyakan kelas bawah, maka upaya menyehatkan dan memintarkan mereka merupakan langkah penting untuk menyiapkan penduduk Jakarta menuju daya saing yang sehat.
Apakah Jokowi itu pemimpin yang mengilhami (inspiring)? Cerita Jokowi menelpon atasan reporter TV di atas adalah salah satu dari sekian banyak cerita inspiring-nya. Dalam contoh lain, tak kurang dari seorang guru besar UI, Sarlito Wirawan Sarwono, memuji Jokowi dalam sebuah tulisannya setelah ceramah di kampus UI:
“Seusai kuliah itu saya terus mengikuti kiprah Jokowi, pernah sekali atau dua kali bertemu dengannya dalam acaraacara tertentu di Solo dan kisah pemindahan PKL Banjarsari pernah saya jadikan contoh dalam beberapa tulisan maupun kuliah saya. Kesimpulan saya, Jokowi memang fenomenal. Walaupun tidak pernah mempelajari ilmu sosial, apalagi psikologi (kuliahnya dulu di Fakultas Kehutanan, UGM, Yogyakarta), Jokowi menerapkan kaidah-kaidah intervensi sosial dengan sangat tepat,hanya berdasarkan akal sehatnya dan komitmennya pada tugas.”
Majalah Fortune, edisi online-nya tanggal 20 Maret 2014 mencantumkan nama 50 pemimpin dunia yang paling hebat—The World’s 50 Greatest Leaders. Bunyi kalimatnya di awal: In an era that feels starved for leadership, we’ve found men and women who will inspire you — all of them energizing their followers and making the world better. Perhatikan kata-kata “we’ve found men and women who will inspire you.” Jokowi tercantum di peringkat 37 sebagaimana terlihat di sini.
Karakteristik kemampuan (competent) atau kompetensi jelas ada pada diri Jokowi. Menurut Kouzes dan Posner, karakteristik ini berkenaan dengan rekam jejak (track record) sang pemimpin dalam membereskan pekerjaannya atau “getting things done”. Harapan orang pada pemimpinnya adalah sang pemimpin mengetahui pokok-pokok dalam industrinya atau pasarnya atau profesinya. Yang paling penting adalah sang pemimpin mau mempelajari urusan yang dia tangani dan mengetahui operasional dari urusannya itu. Track record Jokowi jelas tertulis dalam sejarah kota Solo dalam kurun waktu 7 tahun dia memimpin sebelum pindah ke Jakarta. Salah satunya telah disebutkan di atas.
Dalam kurun waktu satu tahun beberapa bulan berikutnya, saat memimpin DKI, rekam jejaknya pun telah diketahui masyarakat. Mulai dari keberhasilan mengeruk Waduk Pluit sambil memindahkan penduduk yang tinggal di pemukiman liar di tepinya. Keberhasilan membersihkan sebuah jalan di Tanah Abang dari PKL—meski ternyata ada masalah yang berbeda yang muncul belakangan. Keberhasilan menggerakkan dimulainya program pembangunan MRT yang ide pertamanya lahir sekitar 25 tahun sebelumnya.
Keberhasilan menggerakkan dimulainya program pembangunan MRT, dilihat dari kacamata manajemen, sesuai dengan apa yang dikatakan Peter F. Drucker. Dia mengatakan: Intelligence, imagination, and knowledge are essential resources, but only effectiveness converts them into results—Kecerdasan, imajinasi, dan pengetahuan adalah sumber daya sangat penting, tetapi hanya efektivitaslah yang dapat mengubah ketiganya menjadi hasil. Dengan perkataan lain, Jokowi yang berpendidikan cukup tinggi (karena jebolan perguruan tinggi) sudah memiliki ketiga sumberdaya itu ditambah kapabilitas atau efektivitas yang membuat organisasi yang dipimpinnya (perusahaan mebelnya, Pemda Solo, ataupun Pemda DKI) mencapai hasil yang dicanangkan.
Bahwa soal banjir, sbg salah satu Key Performance Indicator Gubernur DKI, masih terjadi, masalahnya sangat kompleks yang melibatkan tanggung-jawab Pemerintah Pusat.
Pembahasan dari kacamata pendapat Peter Drucker sejalan dengan pendapat Jim Kouzes dan Barry Posner. Dari sudut pandang mereka, saya menyimpulkan bahwa Jokowi adalah pribadi yang memenuhi syarat menerima amanah atau amanat untuk memimpin organisasi apa pun baik skala kecil (seperti perusahaan mebelnya sendiri) maupun skala besar (seperti Pemda DKI).
Terkait penunjukan oleh sebuah partai kepadanya untuk maju sebagai salah satu calon presiden, itu lebih sebagai perwujudan akumulasi kepercayaan sebagian masyarakat yang menaruh kepercayaan kepadanya. Kepercayaan atau trust agar dia sudi menerima amanah memimpin. Kita tidak perlu terlalu risau ada kemungkinan Jokowi bakal dikendalikan Ketua Umum partai yang bersangkutan. Jokowi bukanlah seorang pemimpin muda yang sedang belajar memimpin sehingga dikira mudah diatur-atur. Dia telah terbukti berintegritas. Permintaan yang mementingkan pribadi atau kelompok atau yang melanggar hukum dan etika tentu bakal ditolak. Ketua Umum tersebut pernah menjadi Presiden, sehingga sangat mungkin dia belajar dari kekeliruan yang pernah dia buat (kalau ada) sehingga tahu persis beratnya tanggung jawab Presiden.
Itulah yang saya lihat tentang Jokowi atau Joko Widodo. Mohon maaf kalau saya dinilai subyektif soal dirinya. Dan kalau ada kekeliruan dalam tulisan saya ini, tolong jangan bantai saya di kolom komentar. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar