Banyak kisah
teladan yang perlu kita pahami, mengerti dan teladani dari kehidupan nabi
Muhammad saw. diantaranya adalah Kisah Nabi Muhammad menyuapi orang yahudi yang
buta.
Dimasa kehidupan
nabi saw. ada pengemis yahudi yang buta yang bisa tempatnya di sudut pasar
Madinah Al Munawarah. Dan pengemis itu punya kebiasaan apabila ada orang yang
mendekatinya ia selalu berkata:
“Wahai
saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia
itu tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya, maka kalian akan di
pengaruhinya.”
Nah menariknya
hampir setiap pagi, Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan
tanpa berkata sepatah katapun Rasul menyuapi makanan yang dibawanya kepada
pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang
yang bernama Muhammad seperti perkataan di atas.
Rasulullah SAW
melakukan hal itu hingga beliau menjelang wafat. Setelah Rasulullah wafat, tak
ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi dan yang menyuapi orang
Yahudi yang buta itu.
Suatu hari Abu
Bakar ra berkunjung ke rumah anaknya (Aisyah). Beliau bertanya kepada Aisyah:
“Anakku, adakah sunnah Rasul yang belum aku kerjakan?” . Aisyah menjawab
pertanyaan ayahnya: “Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah saja. Hampir
tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja“,
ucap Aisyah.
“Apakah itu?”
Tanya Abu Bakar. “Setiap pagi, Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar
dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada di sana“,
jawab Aisyah.
Keesokan
harinya, Abu Bakar pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada
pengemis itu. Abu Bakar mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu
kepadanya.
Ketika Abu Bakar
mulai menyuapinya, tiba-tiba pengemis itu marah sambil berteriak: “Siapa kamu!”
Abu Bakar menjawab: “Aku orang yang biasa“. “Bukan! Engkau bukan orang yang
biasa mendatangiku.” sahut pengemis buta itu.
Lalu pengemis
itu melanjutkan bicaranya: “Apabila ia datang kepadaku, tidak susah tangan ini
memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu
selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan itu, baru setelah
itu ia berikan makanan itu kepadaku.”
Abu Bakar yang
mendengar jawaban orang buta itu kemudian menangis sambil berkata: “Aku memang
bukan yang biasa datang kepadamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya.
Orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad, Rasulullah saw. yang
sering anda maki dan fitnah”
Setelah pengemis
itu mendengar cerita Abu Bakar, pengemis itu pun menangis dan kemudian berkata
“Benarkah demikian?”, tanya pengemis, kepalanya tertunduk dan air matanya mulai
menetes.
“Selama ini aku
selalu menghinanya dan memfitnahnya”, lanjutnya. Tetapi ia tidak pernah marah
kepadaku, sedikitpun!”, ucap sang pengemis Yahudi sambil menangis terisak.
“Ia selalu
mendatangiku, sambil menyuapiku dengan cara yang sangat lemah lembut…”
sambil menahan kesedihan… namun akhirnya dia pun menangis.
Lalu ditengah
tangisannya, sang pengemis Yahudi itupun berteriak, “Ia begitu mulia !Ia begitu
mulia…!” sambil mendongakkan kepalanya kearah langit biru. Kedua tangannya
dibuka lebar seperti berdoa, dan kemudian kembali duduk simpuh.
Spontan, mereka
berpelukan. Mereka berdua larut dalam tangisan. Tangisan kehilangan seseorang
yang paling mulia sepanjang masa. Lalu sesaat mereka terdiam, kemudian pengemis
Yahudi buta itu meminta kepada Abu Bakar untuk menuntunnya bersyahadat.
Ahirnya pengemis
itupun bersyahadat dihadapan Abu Bakar. Jadilah pengemis itu seorang muslim
yang berserah diri kepada Allah SWT. Subhanallah…
Allah mengutus Jibril untuk menghampiri beliau saw. Jibril berkata,
Rasulullah saw terkejut dengan hal ini, lalu bersabda,
Demikianlah kelembutan hati Rasulullah saaw. Dia manusia, tapi tak seperti manusia. Begitu mulya pengorbanan beliau. Walaupun halangan menimpa, namun hatinya tetap tabah dan penuh kelembutan dan kasih-sayang. Maka betapa kejinya orang-orang yang menghina manusia mulya ini. Betapa jahatnya orang-orang yang menyakiti beliau. Akan tetapi manusia di zaman ini begitu mudah menyakiti perasaan beliau dengan meninggalkan ajaran beliau saaw. Tidak tahukah mereka, bahwa setiap hari amal-amal mereka dihadapkan kepada Rasulullah? Jika amal itu baik, maka beliau pun bergembira dan bersyukur. Jika amal itu buruk, maka beliau dengan kelembutannya memohonkan ampunan kepada Allah bagi orang itu. Adakah pemimpin yang selalu memikirkan ummatnya dari sejak di dunia hingga di kehidupan berikutnya selain beliau saw?
Tak jauh dari tempat istirahat Rasulullah saaw dan Zaid bin Haritsah, terdapat sebuah kebun milik 'Utbah bin Rabi’ah. Kebetulan dua orang anak 'Utbah berada di situ. Melihat keadaan Rasulullah saaw dan Zaid, mereka menyuruh budak mereka, 'Addas, yang beragama Nashrani untuk membawakan buah anggur dari kebun itu.
Pelayan itu segera menghampiri Rasulullah saw dan berkata,
Addas, demi mendengar ucapan Rasulullah saw, merasa kagum dan berkata, “Sungguh, kata-kata itu tidak pernah diucapkan penduduk daerah ini.”
Rasulullah saw bertanya, “Dari negara mana engkau dan apa agamamu?” Addas menjawab,“Aku seorang penganut Nashrani, aku berasal dari Niniwe.”
Rasulullah saw berkata, “Oh, dusun tempat seorang hamba Allah yang shalih, Yunus bin Matta.”
Addas bertanya penuh kekaguman, “Dari manakah Anda mengenal Yunus bin Matta?”Rasulullah saw menjawab, “Dia saudaraku. Dia seorang nabi, dan aku pun seorang nabi.”
Dengan perasaan gembira bercampur haru, Addas memeluk Rasulullah dan menciumi kening, tangan dan kaki Rasulullah saw. Setelah merasa cukup beristirahat, Rasulullah saaw dan Zaid bin Haritsah beranjak pulang ke Makkah.
Yunus bin Matta adalah seorang Nabi dari Niniwe, terkadang disebut juga sebagai Dzun Nun. Penduduk Niniwe begitu ingkar dan menolak ajaran yang dibawa beliau as. Lalu beliau pergi dari negeri itu dengan menggunakan perahu. Akan tetapi di tengah laut beliau terpaksa di buang ke laut dan kemudian di makan ikan. Beliau tinggal di dalam perut ikan selama tiga hari tiga malam. Kemudian beliau dimuntahkan ikan itu ke tepi pantai dekat Niniwe. Penduduk Niniwe menyambut kedatangan beliau yang ternyata penduduk Niniwe telah bertobat dan menerima ajaran yang beliau bawa. Kisah ini dapat dilihat dalam Al-Qur`an surat Al-Anbiya` ayat 87-88 dan Ash-Shaffat ayat 139-148
Sumber : http://alkisah.web.id/2010/03/kelembutan-sang-rasul.html
Kehalusan, Kelembutan, dan Kesabaran Rasulullah
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan:
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baru kembali dari peperangan Hunain, beberapa orang Arab badui mengikuti beliau, mereka meminta bagian kepada beliau. Mereka terus meminta sampai-sampai beliau terdesak ke sebuah pohon, sehingga jatuhlah selendang beliau, ketika itu beliau berada di atas tunggangan. Beliau lantas berkata:
Merupakan bentuk tarbiyah dan ta’lim yang paling jitu dan indah adalah berlaku lemah lembut dalam segala perkara, dalam mengenal maslahat dan menolak mafsadat.
Kecemburuan yang dimiliki para sahabat telah mendorong mereka untuk menyanggah setiap melihat orang yang keliru dan tergelincir dalam kesalahan. Mereka memang berhak melakukan hal itu! Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lembut dan penyantun melarang mereka melakukan seperti itu, karena orang itu (pelaku kesalahan itu) jahil atau karena mudharat yang timbul dibalik itu lebih besar. Tentu saja, perilaku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih utama untuk diteladani.
Abu Hurairah menceritakan:
Kesabaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyebarkan dakwah layak menjadi motivasi bagi kita untuk meneladaninya. Kita wajib berjalan di atas manhaj (metode) beliau di dalam berdakwah semata-mata karena Allah tanpa membela kepentingan pribadi.
‘Aisyahradhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
Pada hari ini, sering kita lihat sebagian orang yang bersikap terburu-buru dalam berdakwah. Berharap dapat segera memetik hasil. Hanya membela kepentingan pribadi yang justru hal itu merusak dakwah dan mengotori keikhlasan. Oleh sebab itu, berapa banyak kelompok-kelompok dakwah yang gagal karena individu-individunya tidak memiliki kesabaran dan ketabahan!
Setelah bersabar dan berjuang selama bertahun-tahun, barulah terwujud apa yang dicita-citakan Rasulullah.
Dalam sebuah syair disebutkan:
Abdullah bin Mas’ud mengungkapkan:
Pada suatu hari ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tengah melayat satu jenazah, datanglah seorang Yahudi bernama Zaid bin Su’nah menemui beliau untuk menuntut utangnya. Yahudi itu menarik ujung gamis dan selendang beliau sambil memandang dengan wajah yang bengis. Dia berkata: “Ya Muhammad, lunaskanlah utangmu padaku!” dengan nada yang kasar. Melihat hal itu Umar pun marah, ia menoleh ke arah Zaid si Yahudi sambil mendelikkan matanya seraya berkata: “Hai musuh Allah, apakah engkau berani berkata dan berbuat tidak senonoh terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di hadapanku!” Demi Dzat Yang telah mengutusnya dengan membawa Al-Haq, seandainya bukan karena menghindari teguran beliau, niscaya sudah kutebas engkau dengan pedangku!”
Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperhatikan reaksi Umar dengan tenang. Beliau berkata: “Wahai Umar, saya dan dia lebih membutuhkan perkara yang lain (nasihat). Yaitu engkau anjurkan kepadaku untuk menunaikan utangnya dengan baik, dan engkau perintahkan dia untuk menuntut utangnya dengan cara yang baik pula. Wahai umar bawalah dia dan tunaikanlah haknya serta tambahlah dengan dua puluh sha’ kurma.”
Melihat Umar menambah dua puluh sha’ kurma, Zaid si Yahudi itu bertanya: “Ya Umar, tambahan apakah ini?
Umar menjawab: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkanku untuk menambahkannya sebagai ganti kemarahanmu!”
Si Yahudi itu berkata: “Ya Umar, apakah engkau mengenalku?”
“Tidak, lalu siapakah Anda?” Umar balas bertanya.
“Aku adalah Zaid bin Su’nah.” jawabnya.
“Apakah Zaid si pendeta itu?” tanya Umar lagi.
“Benar!” sahutnya.
Umar lantas berkata: “Apakah yang mendorongmu berbicara dan bertindak seperti itu terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Zaid menjawab: “Ya Umar, tidak satupun tanda-tanda kenabian kecuali aku pasti mengenalinya melalui wajah beliau setiap kali aku memandangnya. Tinggal dua tanda yang belum aku buktikan, yaitu: apakah kesabarannya dapat memupus tindakan jahil, dan apakah tindakan jahil yang ditujukan kepadanya justru semakin menambah kemurahan hatinya. Dan sekarang aku telah membuktikannya. Aku bersaksi kepadamu wahai Umar, bahwa aku rela Allah sebagai Rabbku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad sebagai nabiku. Dan Aku bersaksi kepadamu bahwa aku telah menyedekahkan sebagian hartaku untuk umat Muhammad.”
Umar berkata: “Ataukah untuk sebagian umat Muhammad saja sebab hartamu tidak akan cukup untuk dibagikan kepada seluruh umat Muhammad.”
Zaid berkata: “Ya, untuk sebagian umat Muhammad.
Zaid kemudian kembali menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyatakan kalimat syahadat “Asyhadu al Laa Ilaaha Illallaahu, wa Asyhadu Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuuluhu”. Ia beriman dan membenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Al-Hakim dalam kitab Mustadrak dan men-shahihkannya).
Cobalah perhatikan dialog yang panjang tersebut, sebuah pendirian dan kesudahan yang mengesankan. Semoga kita dapat meneladani junjungan kita nabi besar Muhammad. Meneladani kesabaran beliau dalam menghadapi beraneka ragam manusia. Dan dalam mendakwahi mereka dengan lemah lembut dan santun. Memberikan motivasi bila mereka berlaku baik, serta menumbuhkan rasa optimisme di dalam diri mereka.
‘Aisyahradhiyallahu ‘anha menceritakan:
Kehalusan,
Kelembutan, dan Kesabaran Rasulullah
Nabi Muhammad, sosok manusia yang penuh kelembutan. Beliau sering
diludahi, dikatakan gila, dilempari kotoran hewan, dan lain sebagainya. Pernah
ada seorang laki-laki yang apabila Nabi lewat depan rumahnya, ia selalu
meludahi Nabi. Terus begitu setiap hari. Suatu hari, Nabi lewat depan rumahnya
seperti biasa. Namun beliau heran, karena beliau tidak mendapati laki-laki
tersebut meludahinya. Maka bertanyalah beliau kepada tetangga laki-laki
tersebut. Rupanya laki-laki itu sedang sakit. Apakah nabi Muhammad merasa
senang? Nabi Muhammad justeru bertamu ke rumah laki-laki itu untuk menjenguk
dan menghibur laki-laki itu. Maka kagumlah laki-laki itu akan akhlaq beliau.
Nabi Muhammad bukanlah sosok yang mudah marah jika dihina. Beliau hanya marah
jika seseorang menghina Allah.
Muhammad Ar-Rasul di Tha’if
Sepeninggal Abu Thalib, gangguan kafir Quraisy terhadap Rasulullah saaw semakin bertambah ganas. Ketika beliau merasakan gangguan kaum musyrikin Quraisy bertambah hebat dan tetap menolak serta menjauhi agama Islam, beliau berpikir untuk meninggalkan Makkah dan pergi ke Tha’if. Beliau berharap akan memperoleh dukungan penduduk setempat dan akan menyambut baik ajakan beliau untuk memeluk agama Islam. Dengan harapan itu, Muhammad saaw sang Rasul bersama Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau saaw, pergi ke Tha’if.
Banyak tokoh Quraisy membangun tempat peristirahatan di sana. Kabilah terbesar di Tha’if adalah Bani Tsaqif, kabilah yang berkuasa serta mempunyai kekuatan fisik dan ekonomi yang cukup memadai. Mengetahui akan hal ini, Rasulullah saaw menemui pemimpin Bani Tsaqif yang terdiri dari tiga bersaudara.
Rasulullah saaw menyampaikan maksud kedatangan beliau dan mengajak mereka untuk memeluk Islam dan tidak menyembah selain Allah SWT. Namun jawaban dari mereka sungguh di luar harapan Nabi Muhammad saw.
Salah satu dari mereka berkata,“Apakah Allah tidak dapat memperoleh seseorang untuk diutus selain engkau?”
Yang lainnya berkata, “Kami hidup turun-temurun di sini. Tiada kesusahan atau pun penderitaan. Hidup kami makmur, serba berkecukupan, dan kami merasa senang dan bahagia. Oleh sebab itu, kami tak perlu agamamu. Juga tidak perlu dengan segala ajaranmu. Kami pun punya Tuhan yang bernama Al-Latta, yang memiliki kekuatan melebihi berhala Hubal di Ka’bah. Buktiny dia telah memberikan kesenangan di sini dengan segala kemewahan dan kekayaan yang kami miliki.”
Yang lainnya lagi berkata, “Jauh berbeda dengan ajaran yang kalian tawarkan. Penuh siksaan dan daerah yang selalu penuh dengan derita. Jels kami menolak ajaran kalian. Bila tidak, akan menimbulkan malapetaka bagi penduduk kami di sini.”
Mendengar jawaban mereka, berkata Muhammad Rasulullah saw,
Muhammad Ar-Rasul di Tha’if
Sepeninggal Abu Thalib, gangguan kafir Quraisy terhadap Rasulullah saaw semakin bertambah ganas. Ketika beliau merasakan gangguan kaum musyrikin Quraisy bertambah hebat dan tetap menolak serta menjauhi agama Islam, beliau berpikir untuk meninggalkan Makkah dan pergi ke Tha’if. Beliau berharap akan memperoleh dukungan penduduk setempat dan akan menyambut baik ajakan beliau untuk memeluk agama Islam. Dengan harapan itu, Muhammad saaw sang Rasul bersama Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau saaw, pergi ke Tha’if.
Banyak tokoh Quraisy membangun tempat peristirahatan di sana. Kabilah terbesar di Tha’if adalah Bani Tsaqif, kabilah yang berkuasa serta mempunyai kekuatan fisik dan ekonomi yang cukup memadai. Mengetahui akan hal ini, Rasulullah saaw menemui pemimpin Bani Tsaqif yang terdiri dari tiga bersaudara.
Rasulullah saaw menyampaikan maksud kedatangan beliau dan mengajak mereka untuk memeluk Islam dan tidak menyembah selain Allah SWT. Namun jawaban dari mereka sungguh di luar harapan Nabi Muhammad saw.
Salah satu dari mereka berkata,“Apakah Allah tidak dapat memperoleh seseorang untuk diutus selain engkau?”
Yang lainnya berkata, “Kami hidup turun-temurun di sini. Tiada kesusahan atau pun penderitaan. Hidup kami makmur, serba berkecukupan, dan kami merasa senang dan bahagia. Oleh sebab itu, kami tak perlu agamamu. Juga tidak perlu dengan segala ajaranmu. Kami pun punya Tuhan yang bernama Al-Latta, yang memiliki kekuatan melebihi berhala Hubal di Ka’bah. Buktiny dia telah memberikan kesenangan di sini dengan segala kemewahan dan kekayaan yang kami miliki.”
Yang lainnya lagi berkata, “Jauh berbeda dengan ajaran yang kalian tawarkan. Penuh siksaan dan daerah yang selalu penuh dengan derita. Jels kami menolak ajaran kalian. Bila tidak, akan menimbulkan malapetaka bagi penduduk kami di sini.”
Mendengar jawaban mereka, berkata Muhammad Rasulullah saw,
“Bila memang demikian, kami pun tidak
memaksa. Maaf kalau telah mengganggu kalian. Kami mohon diri.”
Berkata mereka, “Pergilah kalian
cepat-cepat dari sini! Sebelum kau sebarkan bencana besar bagi penduduk di
sini. Oh ya, kedatangan kalian ke sini tak bisa kami diamkan begitu saja. Mau
tak mau kami harus melaporkan hal ini kepada pemimpin Bani Quraisy di Makkah
sebagai mitra kami. Kami tidak ingin berkhianat kepada mereka.”
Maka Rasulullah saw dan Zaid bin Haritsah keluar dari rumah para pemimpin Bani Tsaqif itu. Akan tetapi, para pemimpin Bani Tsaqif tidak membiarkan mereka berdua pergi begitu saja. Di luar rumah para pemimpin Bani Tsaqif, Rasulullah saaw dan Zaid bin Haritsah dihadang oleh sekelompok penduduk kota Tha’if yang tampaknya tidak ramah. Bahkan di antara kelompok itu ada beberapa anak kecil. Dengan satu aba-aba dari seseorang, sekelompok penduduk itu pun melempari Rasulullah saaw dan Zaid bin Haritsah dengan batu. Zaid bin Haritsah berusaha melindungi Rasulullah saaw sambil pergi dari tempat itu. Mereka berdua terluka akibat lemparan-lemparan itu.
Setelah agak jauh dari kota Tha’if, Rasulullah berteduh dekat sebuah pohon sambil membersihkan luka-luka mereka.
Sesudah agak tenang, Rasulullah mengangkat kepala menengadah ke atas, ia hanyut dalam suatu doa yang berisi pengaduan yang sangat mengharukan:
Maka Rasulullah saw dan Zaid bin Haritsah keluar dari rumah para pemimpin Bani Tsaqif itu. Akan tetapi, para pemimpin Bani Tsaqif tidak membiarkan mereka berdua pergi begitu saja. Di luar rumah para pemimpin Bani Tsaqif, Rasulullah saaw dan Zaid bin Haritsah dihadang oleh sekelompok penduduk kota Tha’if yang tampaknya tidak ramah. Bahkan di antara kelompok itu ada beberapa anak kecil. Dengan satu aba-aba dari seseorang, sekelompok penduduk itu pun melempari Rasulullah saaw dan Zaid bin Haritsah dengan batu. Zaid bin Haritsah berusaha melindungi Rasulullah saaw sambil pergi dari tempat itu. Mereka berdua terluka akibat lemparan-lemparan itu.
Setelah agak jauh dari kota Tha’if, Rasulullah berteduh dekat sebuah pohon sambil membersihkan luka-luka mereka.
Sesudah agak tenang, Rasulullah mengangkat kepala menengadah ke atas, ia hanyut dalam suatu doa yang berisi pengaduan yang sangat mengharukan:
“Allahumma ya Allah, kepadaMu juga aku
mengadukan kelemahanku, kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di hadapan
manusia. Wahai Tuhan Yang Mahapengasih Mahapenyayang. Engkaulah yang melindungi
si lemah, dan Engkaulah Pelindungku. Kepada siapa hendak Kauserahkan daku?
Kepada orang yang jauhkah yang berwajah muram kepadaku, atau kepada musuh yang
akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli,
sebab sungguh luas kenikmatan yang Kaulimpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada
Nur Wajah-Mu yang menyinari kegelapan, dan karenanya membawakan kebaikan bagi
dunia dan akhirat. Janganlah Engkau timpakan kemurkaanMu kepadaku. Engkaulah
yang berhak menegur hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada daya upaya kecuali
dengan Engkau.”
Allah mengutus Jibril untuk menghampiri beliau saw. Jibril berkata,
“Allah mengetahui apa yang telah terjadi
di antara kamu dan penduduk kota Tha’if. Dia telah menyediakan malaikat di
gunung-gunung di sini untuk menjalankan perintahmu. Jika engkau mau, maka
malaikat-malaikat itu akan menabrakkan gunung-gunung itu hingga penduduk kota
itu akan binasa. Atau engkau sebutkan saja suatu hukuman bagi penduduk kota
itu.”
Rasulullah saw terkejut dengan hal ini, lalu bersabda,
“Walau pun orang-orang ini tidak
menerima ajaran Islam, aku harap dengan kehendak Allah, anak-anak mereka pada
suatu masa nanti akan menyembah Allah dan berbakti kepada-Nya.”
Demikianlah kelembutan hati Rasulullah saaw. Dia manusia, tapi tak seperti manusia. Begitu mulya pengorbanan beliau. Walaupun halangan menimpa, namun hatinya tetap tabah dan penuh kelembutan dan kasih-sayang. Maka betapa kejinya orang-orang yang menghina manusia mulya ini. Betapa jahatnya orang-orang yang menyakiti beliau. Akan tetapi manusia di zaman ini begitu mudah menyakiti perasaan beliau dengan meninggalkan ajaran beliau saaw. Tidak tahukah mereka, bahwa setiap hari amal-amal mereka dihadapkan kepada Rasulullah? Jika amal itu baik, maka beliau pun bergembira dan bersyukur. Jika amal itu buruk, maka beliau dengan kelembutannya memohonkan ampunan kepada Allah bagi orang itu. Adakah pemimpin yang selalu memikirkan ummatnya dari sejak di dunia hingga di kehidupan berikutnya selain beliau saw?
Tak jauh dari tempat istirahat Rasulullah saaw dan Zaid bin Haritsah, terdapat sebuah kebun milik 'Utbah bin Rabi’ah. Kebetulan dua orang anak 'Utbah berada di situ. Melihat keadaan Rasulullah saaw dan Zaid, mereka menyuruh budak mereka, 'Addas, yang beragama Nashrani untuk membawakan buah anggur dari kebun itu.
Pelayan itu segera menghampiri Rasulullah saw dan berkata,
“Makanlah anggur ini wahai tuan-tuan.
Semoga dapat melepaskan dahaga kalian.” Kemudian
Rasulullah saw mengambil anggur itu sambil mengucapkan,“Bismillah.”
Addas, demi mendengar ucapan Rasulullah saw, merasa kagum dan berkata, “Sungguh, kata-kata itu tidak pernah diucapkan penduduk daerah ini.”
Rasulullah saw bertanya, “Dari negara mana engkau dan apa agamamu?” Addas menjawab,“Aku seorang penganut Nashrani, aku berasal dari Niniwe.”
Rasulullah saw berkata, “Oh, dusun tempat seorang hamba Allah yang shalih, Yunus bin Matta.”
Addas bertanya penuh kekaguman, “Dari manakah Anda mengenal Yunus bin Matta?”Rasulullah saw menjawab, “Dia saudaraku. Dia seorang nabi, dan aku pun seorang nabi.”
Dengan perasaan gembira bercampur haru, Addas memeluk Rasulullah dan menciumi kening, tangan dan kaki Rasulullah saw. Setelah merasa cukup beristirahat, Rasulullah saaw dan Zaid bin Haritsah beranjak pulang ke Makkah.
Yunus bin Matta adalah seorang Nabi dari Niniwe, terkadang disebut juga sebagai Dzun Nun. Penduduk Niniwe begitu ingkar dan menolak ajaran yang dibawa beliau as. Lalu beliau pergi dari negeri itu dengan menggunakan perahu. Akan tetapi di tengah laut beliau terpaksa di buang ke laut dan kemudian di makan ikan. Beliau tinggal di dalam perut ikan selama tiga hari tiga malam. Kemudian beliau dimuntahkan ikan itu ke tepi pantai dekat Niniwe. Penduduk Niniwe menyambut kedatangan beliau yang ternyata penduduk Niniwe telah bertobat dan menerima ajaran yang beliau bawa. Kisah ini dapat dilihat dalam Al-Qur`an surat Al-Anbiya` ayat 87-88 dan Ash-Shaffat ayat 139-148
Sumber : http://alkisah.web.id/2010/03/kelembutan-sang-rasul.html
Kehalusan, Kelembutan, dan Kesabaran Rasulullah
Merampas dan mengambil hak orang lain
dengan paksa merupakan ciri orang-orang zhalim dan jahat. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah memancangkan pondasi-pondasi
keadilan dan pembelaan bagi hak setiap orang agar mendapatkan dan mengambil
haknya yang dirampas. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah
menjalankan kaidah tersebut demi kebaikan dan semata-mata untuk jalan kebaikan
dengan bimbingan karunia yang telah Allah curahkan berupa perintah dan
larangan. Kita tidak perlu takut adanya kezhaliman, perampasan, pengambilan dan
pelanggaran hak di rumah beliau
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan:
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak pernah sama sekali memukul seorang pun dengan tangannya kecuali dalam
rangka berjihad di jalan Allah. Beliau tidak pernah memukul pelayan dan kaum
wanita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah membalas suatu
aniaya yang ditimpakan orang atas dirinya. Selama orang itu tidak melanggar
kehormatan Allah. Namun, bila sedikit saja kehormatan Allah dilanggar orang,
maka beliau akan membalasnya semata-mata karena Allah.” (HR. Ahmad).
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan:
“Suatu kali aku berjalan bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengenakan kain najran yang
tebal pinggirannya. Kebetulan beliau berpapasan dengan seorang Arab badui,
tiba-tiba si Arab badui tadi menarik dengan keras kain beliau itu, sehingga aku
dapat melihat bekas tarikan itu pada leher beliau. ternyata tarikan tadi begitu
keras sehingga ujung kain yang tebal itu membekas di leher beliau. Si Arab
badui itu berkata: “Wahai Muhammad, berikanlah kepadaku sebagian yang kamu
miliki dari harta Allah!” Beliau lantas menoleh kepadanya sambil tersenyum lalu
mengabulkan permin-taannya.” (Muttafaq
‘alaih).
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baru kembali dari peperangan Hunain, beberapa orang Arab badui mengikuti beliau, mereka meminta bagian kepada beliau. Mereka terus meminta sampai-sampai beliau terdesak ke sebuah pohon, sehingga jatuhlah selendang beliau, ketika itu beliau berada di atas tunggangan. Beliau lantas berkata:
“Kembalikanlah selendang itu kepadaku,
Apakah kamu khawatir aku akan berlaku bakhil Demi Allah, seadainya aku memiliki
unta-unta yang merah sebanyak pohon ‘Udhah ini, niscaya akan aku bagikan
kepadamu, kemudian kalian pasti tidak akan mendapatiku sebagai seorang yang
bakhil, penakut lagi pendusta.” (HR.
Al-Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah dan telah dinyatakan shahih oleh
Syaikh Al-Albani).
Merupakan bentuk tarbiyah dan ta’lim yang paling jitu dan indah adalah berlaku lemah lembut dalam segala perkara, dalam mengenal maslahat dan menolak mafsadat.
Kecemburuan yang dimiliki para sahabat telah mendorong mereka untuk menyanggah setiap melihat orang yang keliru dan tergelincir dalam kesalahan. Mereka memang berhak melakukan hal itu! Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lembut dan penyantun melarang mereka melakukan seperti itu, karena orang itu (pelaku kesalahan itu) jahil atau karena mudharat yang timbul dibalik itu lebih besar. Tentu saja, perilaku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih utama untuk diteladani.
Abu Hurairah menceritakan:
“Suatu ketika, seorang Arab Badui buang
air kecil di dalam masjid (tepatnya di sudut masjid). Orang-orang lantas
berdiri untuk memukulinya. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan: “Biarkanlah dia, siramlah air kencingnya dengan seember atau
segayung air. Sesungguhya kamu ditampilkan ke tengah-tengah umat manusia untuk
memberi kemu-dahan bukan untuk membuat kesukaran.” (HR. Al-Bukhari).
Kesabaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyebarkan dakwah layak menjadi motivasi bagi kita untuk meneladaninya. Kita wajib berjalan di atas manhaj (metode) beliau di dalam berdakwah semata-mata karena Allah tanpa membela kepentingan pribadi.
‘Aisyahradhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Apakah ada hari yang engkau rasakan
lebih berat daripada hari peperangan Uhud?” Beliau menjawab: “Aku telah
mengalami berbagai peristiwa dari kaummu, yang paling berat kurasakan adalah
pada hari ‘Aqabah, ketika aku menawarkan dakwah ini kepada Abdu Yalail bin Abdi
Kalaal namun dia tidak merespon keinginanku. Akupun kembali dengan wajah
kecewa. Aku terus berjalan dan baru tersadar ketika telah sampai di Qornuts
Tsa’alib (sebuah gunung di kota Makkah). Aku tengadahkan wajahku, kulihat
segumpal awan tengah memayungiku. Aku perhatikan dengan saksama, ternyata
Malaikat Jibril ada di sana. Lalu ia menyeruku: “Sesungguhnya Allah telah
mendengar ucapan kaum-mu dan bantahan mereka terhadapmu. Dan aku telah mengutus
malaikat pengawal gunung kepadamu supaya kamu perintahkan ia sesuai kehendakmu.
Kemudian malaikat pengawal gunung itu memberi salam kepadaku lalu berkata:
“Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu dan bantahan
mereka terhadapmu, dan aku adalah malaikat pengawal gunung, Allah telah
mengutusku kepadamu untuk melaksanakan apa yang kamu perintahkan kepadaku.
Sekarang, apakah yang kamu kehendaki jika kamu menghendaki agar aku menimpakan
kedua gunung ini atas mereka, niscaya aku lakukan!” Beliau menjawab: “Tidak, justru
aku berharap semoga Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang
menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya.” (Muttafaq ‘alaih).
Pada hari ini, sering kita lihat sebagian orang yang bersikap terburu-buru dalam berdakwah. Berharap dapat segera memetik hasil. Hanya membela kepentingan pribadi yang justru hal itu merusak dakwah dan mengotori keikhlasan. Oleh sebab itu, berapa banyak kelompok-kelompok dakwah yang gagal karena individu-individunya tidak memiliki kesabaran dan ketabahan!
Setelah bersabar dan berjuang selama bertahun-tahun, barulah terwujud apa yang dicita-citakan Rasulullah.
Dalam sebuah syair disebutkan:
Bagaimanakah mungkin dapat diimbangi
seorang insan terbaik yang hadir di muka bumi. Semua orang yang terpandang
tidak akan mampu mencapai ketinggian derajat-nya. Semua orang yang mulia tunduk
di hadapannya. Para penguasa Timur dan Barat rendah di sisi-nya.
Abdullah bin Mas’ud mengungkapkan:
“Sampai sekarang masih terlintas dalam
ingatanku saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan seorang Nabi
yang dipukul kaumnya hingga berdarah. Nabi tersebut mengusap darah pada
wajahnya seraya berdoa: “Ya Allah, ampunilah kaumku! karena mereka kaum yang
jahil.” (Muttafaq ‘alaih).
Pada suatu hari ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tengah melayat satu jenazah, datanglah seorang Yahudi bernama Zaid bin Su’nah menemui beliau untuk menuntut utangnya. Yahudi itu menarik ujung gamis dan selendang beliau sambil memandang dengan wajah yang bengis. Dia berkata: “Ya Muhammad, lunaskanlah utangmu padaku!” dengan nada yang kasar. Melihat hal itu Umar pun marah, ia menoleh ke arah Zaid si Yahudi sambil mendelikkan matanya seraya berkata: “Hai musuh Allah, apakah engkau berani berkata dan berbuat tidak senonoh terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di hadapanku!” Demi Dzat Yang telah mengutusnya dengan membawa Al-Haq, seandainya bukan karena menghindari teguran beliau, niscaya sudah kutebas engkau dengan pedangku!”
Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperhatikan reaksi Umar dengan tenang. Beliau berkata: “Wahai Umar, saya dan dia lebih membutuhkan perkara yang lain (nasihat). Yaitu engkau anjurkan kepadaku untuk menunaikan utangnya dengan baik, dan engkau perintahkan dia untuk menuntut utangnya dengan cara yang baik pula. Wahai umar bawalah dia dan tunaikanlah haknya serta tambahlah dengan dua puluh sha’ kurma.”
Melihat Umar menambah dua puluh sha’ kurma, Zaid si Yahudi itu bertanya: “Ya Umar, tambahan apakah ini?
Umar menjawab: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkanku untuk menambahkannya sebagai ganti kemarahanmu!”
Si Yahudi itu berkata: “Ya Umar, apakah engkau mengenalku?”
“Tidak, lalu siapakah Anda?” Umar balas bertanya.
“Aku adalah Zaid bin Su’nah.” jawabnya.
“Apakah Zaid si pendeta itu?” tanya Umar lagi.
“Benar!” sahutnya.
Umar lantas berkata: “Apakah yang mendorongmu berbicara dan bertindak seperti itu terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Zaid menjawab: “Ya Umar, tidak satupun tanda-tanda kenabian kecuali aku pasti mengenalinya melalui wajah beliau setiap kali aku memandangnya. Tinggal dua tanda yang belum aku buktikan, yaitu: apakah kesabarannya dapat memupus tindakan jahil, dan apakah tindakan jahil yang ditujukan kepadanya justru semakin menambah kemurahan hatinya. Dan sekarang aku telah membuktikannya. Aku bersaksi kepadamu wahai Umar, bahwa aku rela Allah sebagai Rabbku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad sebagai nabiku. Dan Aku bersaksi kepadamu bahwa aku telah menyedekahkan sebagian hartaku untuk umat Muhammad.”
Umar berkata: “Ataukah untuk sebagian umat Muhammad saja sebab hartamu tidak akan cukup untuk dibagikan kepada seluruh umat Muhammad.”
Zaid berkata: “Ya, untuk sebagian umat Muhammad.
Zaid kemudian kembali menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyatakan kalimat syahadat “Asyhadu al Laa Ilaaha Illallaahu, wa Asyhadu Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuuluhu”. Ia beriman dan membenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Al-Hakim dalam kitab Mustadrak dan men-shahihkannya).
Cobalah perhatikan dialog yang panjang tersebut, sebuah pendirian dan kesudahan yang mengesankan. Semoga kita dapat meneladani junjungan kita nabi besar Muhammad. Meneladani kesabaran beliau dalam menghadapi beraneka ragam manusia. Dan dalam mendakwahi mereka dengan lemah lembut dan santun. Memberikan motivasi bila mereka berlaku baik, serta menumbuhkan rasa optimisme di dalam diri mereka.
‘Aisyahradhiyallahu ‘anha menceritakan:
“Suatu kali aku pergi melaksanakan umrah
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari kota Madinah. Ketika tiba
di kota Makkah, aku berkata:“Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
ayah dan ibuku sebagai tebusannya, engkau mengqasar shalat namun aku
menyempurnakannya, engkau tidak berpuasa justru aku yang berpuasa.” Beliau
menjawab: “Bagus, wahai ‘Aisyah!” Beliau sama sekali tidak mencela diriku.” (HR. An-Nasaai).
Jika Anda Pecinta Betting Online, Anda wajib bergabung bersama S128Cash.
BalasHapusKarena S128Cash merupakan Bandar Betting Online Terbaik dan Terpopuler yang menyediakan semua permainan seperti :
- Sportsbook
- Live Casino
- Sabung Ayam Online
- IDN Poker
- Slot Games Online
- Tembak Ikan Online
- Klik4D
Saya berani jamin, Anda akan merasakan Kenyamanan dan Kepuasan yang maksimal jika bermain bersama S128Cash.
S128Cash juga ada menyediakan BONUS-BONUS menarik, seperti :
- BONUS NEW MEMBER 10%
- BONUS DEPOSIT SETIAP HARI 5%
- BONUS CASHBACK 10%
- BONUS 7x KEMENANGAN BERUNTUN !!
Segera daftarkan diri Anda dan pendaftaran pastinya GRATIS dan sangat cepat !!
Hubungi kami :
- Livechat : Live Chat Judi Online
- WhatsApp : 081910053031
Link Alternatif :
- http://www.s128cash.biz
Judi Bola
Judi Bola Terpercaya