Ahirnya pengemis
itupun bersyahadat dihadapan Abu Bakar. Jadilah pengemis itu seorang muslim
yang berserah diri kepada Allah SWT. Subhanallah…
Kehalusan,
Kelembutan, dan Kesabaran Rasulullah
Nabi Muhammad, sosok manusia yang penuh kelembutan. Beliau sering
diludahi, dikatakan gila, dilempari kotoran hewan, dan lain sebagainya. Pernah
ada seorang laki-laki yang apabila Nabi lewat depan rumahnya, ia selalu
meludahi Nabi. Terus begitu setiap hari. Suatu hari, Nabi lewat depan rumahnya
seperti biasa. Namun beliau heran, karena beliau tidak mendapati laki-laki
tersebut meludahinya. Maka bertanyalah beliau kepada tetangga laki-laki
tersebut. Rupanya laki-laki itu sedang sakit. Apakah nabi Muhammad merasa
senang? Nabi Muhammad justeru bertamu ke rumah laki-laki itu untuk menjenguk
dan menghibur laki-laki itu. Maka kagumlah laki-laki itu akan akhlaq beliau.
Nabi Muhammad bukanlah sosok yang mudah marah jika dihina. Beliau hanya marah
jika seseorang menghina Allah.
Muhammad Ar-Rasul di Tha’if
Sepeninggal Abu Thalib, gangguan kafir Quraisy terhadap Rasulullah saaw semakin
bertambah ganas. Ketika beliau merasakan gangguan kaum musyrikin Quraisy
bertambah hebat dan tetap menolak serta menjauhi agama Islam, beliau berpikir
untuk meninggalkan Makkah dan pergi ke Tha’if. Beliau berharap akan memperoleh
dukungan penduduk setempat dan akan menyambut baik ajakan beliau untuk memeluk
agama Islam. Dengan harapan itu, Muhammad saaw sang Rasul bersama Zaid bin
Haritsah, anak angkat beliau saaw, pergi ke Tha’if.
Banyak tokoh Quraisy membangun tempat peristirahatan di sana. Kabilah terbesar
di Tha’if adalah Bani Tsaqif, kabilah yang berkuasa serta mempunyai kekuatan
fisik dan ekonomi yang cukup memadai. Mengetahui akan hal ini, Rasulullah saaw
menemui pemimpin Bani Tsaqif yang terdiri dari tiga bersaudara.
Rasulullah saaw menyampaikan maksud kedatangan beliau dan mengajak mereka untuk
memeluk Islam dan tidak menyembah selain Allah SWT. Namun jawaban dari mereka
sungguh di luar harapan Nabi Muhammad saw.
Salah satu dari mereka berkata,“Apakah Allah tidak dapat memperoleh
seseorang untuk diutus selain engkau?”
Yang lainnya berkata, “Kami hidup turun-temurun di sini. Tiada
kesusahan atau pun penderitaan. Hidup kami makmur, serba berkecukupan, dan kami
merasa senang dan bahagia. Oleh sebab itu, kami tak perlu agamamu. Juga tidak
perlu dengan segala ajaranmu. Kami pun punya Tuhan yang bernama Al-Latta, yang
memiliki kekuatan melebihi berhala Hubal di Ka’bah. Buktiny dia telah
memberikan kesenangan di sini dengan segala kemewahan dan kekayaan yang kami
miliki.”
Yang lainnya lagi berkata, “Jauh berbeda dengan ajaran yang kalian
tawarkan. Penuh siksaan dan daerah yang selalu penuh dengan derita. Jels kami
menolak ajaran kalian. Bila tidak, akan menimbulkan malapetaka bagi penduduk
kami di sini.”
Mendengar jawaban mereka, berkata Muhammad Rasulullah saw,
“Bila memang demikian, kami pun tidak
memaksa. Maaf kalau telah mengganggu kalian. Kami mohon diri.”
Berkata mereka, “Pergilah kalian
cepat-cepat dari sini! Sebelum kau sebarkan bencana besar bagi penduduk di
sini. Oh ya, kedatangan kalian ke sini tak bisa kami diamkan begitu saja. Mau
tak mau kami harus melaporkan hal ini kepada pemimpin Bani Quraisy di Makkah
sebagai mitra kami. Kami tidak ingin berkhianat kepada mereka.”
Maka Rasulullah saw dan Zaid bin Haritsah keluar dari rumah para pemimpin Bani
Tsaqif itu. Akan tetapi, para pemimpin Bani Tsaqif tidak membiarkan mereka
berdua pergi begitu saja. Di luar rumah para pemimpin Bani Tsaqif, Rasulullah
saaw dan Zaid bin Haritsah dihadang oleh sekelompok penduduk kota Tha’if yang
tampaknya tidak ramah. Bahkan di antara kelompok itu ada beberapa anak kecil.
Dengan satu aba-aba dari seseorang, sekelompok penduduk itu pun melempari
Rasulullah saaw dan Zaid bin Haritsah dengan batu. Zaid bin Haritsah berusaha
melindungi Rasulullah saaw sambil pergi dari tempat itu. Mereka berdua terluka
akibat lemparan-lemparan itu.
Setelah agak jauh dari kota Tha’if, Rasulullah berteduh dekat sebuah pohon
sambil membersihkan luka-luka mereka.
Sesudah agak tenang, Rasulullah mengangkat kepala menengadah ke atas, ia hanyut
dalam suatu doa yang berisi pengaduan yang sangat mengharukan:
“Allahumma ya Allah, kepadaMu juga aku
mengadukan kelemahanku, kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di hadapan
manusia. Wahai Tuhan Yang Mahapengasih Mahapenyayang. Engkaulah yang melindungi
si lemah, dan Engkaulah Pelindungku. Kepada siapa hendak Kauserahkan daku?
Kepada orang yang jauhkah yang berwajah muram kepadaku, atau kepada musuh yang
akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli,
sebab sungguh luas kenikmatan yang Kaulimpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada
Nur Wajah-Mu yang menyinari kegelapan, dan karenanya membawakan kebaikan bagi
dunia dan akhirat. Janganlah Engkau timpakan kemurkaanMu kepadaku. Engkaulah
yang berhak menegur hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada daya upaya kecuali
dengan Engkau.”
Allah mengutus Jibril untuk menghampiri beliau saw. Jibril berkata,
“Allah mengetahui apa yang telah terjadi
di antara kamu dan penduduk kota Tha’if. Dia telah menyediakan malaikat di
gunung-gunung di sini untuk menjalankan perintahmu. Jika engkau mau, maka
malaikat-malaikat itu akan menabrakkan gunung-gunung itu hingga penduduk kota
itu akan binasa. Atau engkau sebutkan saja suatu hukuman bagi penduduk kota
itu.”
Rasulullah saw terkejut dengan hal ini, lalu bersabda,
“Walau pun orang-orang ini tidak
menerima ajaran Islam, aku harap dengan kehendak Allah, anak-anak mereka pada
suatu masa nanti akan menyembah Allah dan berbakti kepada-Nya.”
Demikianlah kelembutan hati Rasulullah saaw. Dia manusia, tapi tak seperti
manusia. Begitu mulya pengorbanan beliau. Walaupun halangan menimpa, namun
hatinya tetap tabah dan penuh kelembutan dan kasih-sayang. Maka betapa kejinya
orang-orang yang menghina manusia mulya ini. Betapa jahatnya orang-orang yang
menyakiti beliau. Akan tetapi manusia di zaman ini begitu mudah menyakiti
perasaan beliau dengan meninggalkan ajaran beliau saaw. Tidak tahukah mereka,
bahwa setiap hari amal-amal mereka dihadapkan kepada Rasulullah? Jika amal itu
baik, maka beliau pun bergembira dan bersyukur. Jika amal itu buruk, maka
beliau dengan kelembutannya memohonkan ampunan kepada Allah bagi orang itu.
Adakah pemimpin yang selalu memikirkan ummatnya dari sejak di dunia hingga di
kehidupan berikutnya selain beliau saw?
Tak jauh dari tempat istirahat Rasulullah saaw dan Zaid bin Haritsah, terdapat
sebuah kebun milik 'Utbah bin Rabi’ah. Kebetulan dua orang anak 'Utbah berada
di situ. Melihat keadaan Rasulullah saaw dan Zaid, mereka menyuruh budak
mereka, 'Addas, yang beragama Nashrani untuk membawakan buah anggur dari kebun
itu.
Pelayan itu segera menghampiri Rasulullah saw dan berkata,
“Makanlah anggur ini wahai tuan-tuan.
Semoga dapat melepaskan dahaga kalian.” Kemudian
Rasulullah saw mengambil anggur itu sambil mengucapkan,“Bismillah.”
Addas, demi mendengar ucapan Rasulullah saw, merasa kagum dan berkata, “Sungguh,
kata-kata itu tidak pernah diucapkan penduduk daerah ini.”
Rasulullah saw bertanya, “Dari negara mana engkau dan apa agamamu?” Addas
menjawab,“Aku seorang penganut Nashrani, aku berasal dari Niniwe.”
Rasulullah saw berkata, “Oh, dusun tempat seorang hamba Allah yang
shalih, Yunus bin Matta.”
Addas bertanya penuh kekaguman, “Dari manakah Anda mengenal Yunus bin
Matta?”Rasulullah saw menjawab, “Dia saudaraku. Dia seorang nabi,
dan aku pun seorang nabi.”
Dengan perasaan gembira bercampur haru, Addas memeluk Rasulullah dan menciumi
kening, tangan dan kaki Rasulullah saw. Setelah merasa cukup beristirahat,
Rasulullah saaw dan Zaid bin Haritsah beranjak pulang ke Makkah.
Yunus bin Matta adalah seorang Nabi dari Niniwe, terkadang disebut juga sebagai
Dzun Nun. Penduduk Niniwe begitu ingkar dan menolak ajaran yang dibawa beliau
as. Lalu beliau pergi dari negeri itu dengan menggunakan perahu. Akan tetapi di
tengah laut beliau terpaksa di buang ke laut dan kemudian di makan ikan. Beliau
tinggal di dalam perut ikan selama tiga hari tiga malam. Kemudian beliau dimuntahkan
ikan itu ke tepi pantai dekat Niniwe. Penduduk Niniwe menyambut kedatangan
beliau yang ternyata penduduk Niniwe telah bertobat dan menerima ajaran yang
beliau bawa. Kisah ini dapat dilihat dalam Al-Qur`an surat Al-Anbiya` ayat
87-88 dan Ash-Shaffat ayat 139-148
Sumber : http://alkisah.web.id/2010/03/kelembutan-sang-rasul.html
Kehalusan, Kelembutan, dan Kesabaran Rasulullah
Merampas dan mengambil hak orang lain
dengan paksa merupakan ciri orang-orang zhalim dan jahat. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah memancangkan pondasi-pondasi
keadilan dan pembelaan bagi hak setiap orang agar mendapatkan dan mengambil
haknya yang dirampas. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah
menjalankan kaidah tersebut demi kebaikan dan semata-mata untuk jalan kebaikan
dengan bimbingan karunia yang telah Allah curahkan berupa perintah dan
larangan. Kita tidak perlu takut adanya kezhaliman, perampasan, pengambilan dan
pelanggaran hak di rumah beliau
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak pernah sama sekali memukul seorang pun dengan tangannya kecuali dalam
rangka berjihad di jalan Allah. Beliau tidak pernah memukul pelayan dan kaum
wanita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah membalas suatu
aniaya yang ditimpakan orang atas dirinya. Selama orang itu tidak melanggar
kehormatan Allah. Namun, bila sedikit saja kehormatan Allah dilanggar orang,
maka beliau akan membalasnya semata-mata karena Allah.” (HR. Ahmad).
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan:
“Suatu kali aku berjalan bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengenakan kain najran yang
tebal pinggirannya. Kebetulan beliau berpapasan dengan seorang Arab badui,
tiba-tiba si Arab badui tadi menarik dengan keras kain beliau itu, sehingga aku
dapat melihat bekas tarikan itu pada leher beliau. ternyata tarikan tadi begitu
keras sehingga ujung kain yang tebal itu membekas di leher beliau. Si Arab
badui itu berkata: “Wahai Muhammad, berikanlah kepadaku sebagian yang kamu
miliki dari harta Allah!” Beliau lantas menoleh kepadanya sambil tersenyum lalu
mengabulkan permin-taannya.” (Muttafaq
‘alaih).
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baru kembali dari peperangan
Hunain, beberapa orang Arab badui mengikuti beliau, mereka meminta bagian
kepada beliau. Mereka terus meminta sampai-sampai beliau terdesak ke sebuah
pohon, sehingga jatuhlah selendang beliau, ketika itu beliau berada di atas
tunggangan. Beliau lantas berkata:
“Kembalikanlah selendang itu kepadaku,
Apakah kamu khawatir aku akan berlaku bakhil Demi Allah, seadainya aku memiliki
unta-unta yang merah sebanyak pohon ‘Udhah ini, niscaya akan aku bagikan
kepadamu, kemudian kalian pasti tidak akan mendapatiku sebagai seorang yang
bakhil, penakut lagi pendusta.” (HR.
Al-Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah dan telah dinyatakan shahih oleh
Syaikh Al-Albani).
Merupakan bentuk tarbiyah dan ta’lim yang paling jitu dan indah adalah berlaku
lemah lembut dalam segala perkara, dalam mengenal maslahat dan menolak
mafsadat.
Kecemburuan yang dimiliki para sahabat telah mendorong mereka untuk menyanggah
setiap melihat orang yang keliru dan tergelincir dalam kesalahan. Mereka memang
berhak melakukan hal itu! Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang
lembut dan penyantun melarang mereka melakukan seperti itu, karena orang itu
(pelaku kesalahan itu) jahil atau karena mudharat yang timbul dibalik itu lebih
besar. Tentu saja, perilaku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih utama
untuk diteladani.
Abu Hurairah menceritakan:
“Suatu ketika, seorang Arab Badui buang
air kecil di dalam masjid (tepatnya di sudut masjid). Orang-orang lantas
berdiri untuk memukulinya. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan: “Biarkanlah dia, siramlah air kencingnya dengan seember atau
segayung air. Sesungguhya kamu ditampilkan ke tengah-tengah umat manusia untuk
memberi kemu-dahan bukan untuk membuat kesukaran.” (HR. Al-Bukhari).
Kesabaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyebarkan dakwah
layak menjadi motivasi bagi kita untuk meneladaninya. Kita wajib berjalan di
atas manhaj (metode) beliau di dalam berdakwah semata-mata karena Allah tanpa
membela kepentingan pribadi.
‘Aisyahradhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam :
“Apakah ada hari yang engkau rasakan
lebih berat daripada hari peperangan Uhud?” Beliau menjawab: “Aku telah
mengalami berbagai peristiwa dari kaummu, yang paling berat kurasakan adalah
pada hari ‘Aqabah, ketika aku menawarkan dakwah ini kepada Abdu Yalail bin Abdi
Kalaal namun dia tidak merespon keinginanku. Akupun kembali dengan wajah
kecewa. Aku terus berjalan dan baru tersadar ketika telah sampai di Qornuts
Tsa’alib (sebuah gunung di kota Makkah). Aku tengadahkan wajahku, kulihat
segumpal awan tengah memayungiku. Aku perhatikan dengan saksama, ternyata
Malaikat Jibril ada di sana. Lalu ia menyeruku: “Sesungguhnya Allah telah
mendengar ucapan kaum-mu dan bantahan mereka terhadapmu. Dan aku telah mengutus
malaikat pengawal gunung kepadamu supaya kamu perintahkan ia sesuai kehendakmu.
Kemudian malaikat pengawal gunung itu memberi salam kepadaku lalu berkata:
“Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu dan bantahan
mereka terhadapmu, dan aku adalah malaikat pengawal gunung, Allah telah
mengutusku kepadamu untuk melaksanakan apa yang kamu perintahkan kepadaku.
Sekarang, apakah yang kamu kehendaki jika kamu menghendaki agar aku menimpakan
kedua gunung ini atas mereka, niscaya aku lakukan!” Beliau menjawab: “Tidak, justru
aku berharap semoga Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang
menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya.” (Muttafaq ‘alaih).
Pada hari ini, sering kita lihat sebagian orang yang bersikap terburu-buru dalam
berdakwah. Berharap dapat segera memetik hasil. Hanya membela kepentingan
pribadi yang justru hal itu merusak dakwah dan mengotori keikhlasan. Oleh sebab
itu, berapa banyak kelompok-kelompok dakwah yang gagal karena
individu-individunya tidak memiliki kesabaran dan ketabahan!
Setelah bersabar dan berjuang selama bertahun-tahun, barulah terwujud apa yang
dicita-citakan Rasulullah.
Dalam sebuah syair disebutkan:
Bagaimanakah mungkin dapat diimbangi
seorang insan terbaik yang hadir di muka bumi. Semua orang yang terpandang
tidak akan mampu mencapai ketinggian derajat-nya. Semua orang yang mulia tunduk
di hadapannya. Para penguasa Timur dan Barat rendah di sisi-nya.
Abdullah bin Mas’ud mengungkapkan:
“Sampai sekarang masih terlintas dalam
ingatanku saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan seorang Nabi
yang dipukul kaumnya hingga berdarah. Nabi tersebut mengusap darah pada
wajahnya seraya berdoa: “Ya Allah, ampunilah kaumku! karena mereka kaum yang
jahil.” (Muttafaq ‘alaih).
Pada suatu hari ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tengah melayat
satu jenazah, datanglah seorang Yahudi bernama Zaid bin Su’nah menemui beliau
untuk menuntut utangnya. Yahudi itu menarik ujung gamis dan selendang beliau
sambil memandang dengan wajah yang bengis. Dia berkata: “Ya Muhammad,
lunaskanlah utangmu padaku!” dengan nada yang kasar. Melihat hal itu Umar pun
marah, ia menoleh ke arah Zaid si Yahudi sambil mendelikkan matanya seraya
berkata: “Hai musuh Allah, apakah engkau berani berkata dan berbuat tidak
senonoh terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di hadapanku!” Demi
Dzat Yang telah mengutusnya dengan membawa Al-Haq, seandainya bukan karena
menghindari teguran beliau, niscaya sudah kutebas engkau dengan pedangku!”
Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperhatikan reaksi Umar
dengan tenang. Beliau berkata: “Wahai Umar, saya dan dia lebih membutuhkan
perkara yang lain (nasihat). Yaitu engkau anjurkan kepadaku untuk menunaikan
utangnya dengan baik, dan engkau perintahkan dia untuk menuntut utangnya dengan
cara yang baik pula. Wahai umar bawalah dia dan tunaikanlah haknya serta
tambahlah dengan dua puluh sha’ kurma.”
Melihat Umar menambah dua puluh sha’ kurma, Zaid si Yahudi itu bertanya: “Ya
Umar, tambahan apakah ini?
Umar menjawab: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkanku untuk
menambahkannya sebagai ganti kemarahanmu!”
Si Yahudi itu berkata: “Ya Umar, apakah engkau mengenalku?”
“Tidak, lalu siapakah Anda?” Umar balas bertanya.
“Aku adalah Zaid bin Su’nah.” jawabnya.
“Apakah Zaid si pendeta itu?” tanya Umar lagi.
“Benar!” sahutnya.
Umar lantas berkata: “Apakah yang mendorongmu berbicara dan bertindak seperti
itu terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Zaid menjawab: “Ya Umar, tidak satupun tanda-tanda kenabian kecuali aku pasti
mengenalinya melalui wajah beliau setiap kali aku memandangnya. Tinggal dua
tanda yang belum aku buktikan, yaitu: apakah kesabarannya dapat memupus
tindakan jahil, dan apakah tindakan jahil yang ditujukan kepadanya justru semakin
menambah kemurahan hatinya. Dan sekarang aku telah membuktikannya. Aku bersaksi
kepadamu wahai Umar, bahwa aku rela Allah sebagai Rabbku, Islam sebagai agamaku
dan Muhammad sebagai nabiku. Dan Aku bersaksi kepadamu bahwa aku telah
menyedekahkan sebagian hartaku untuk umat Muhammad.”
Umar berkata: “Ataukah untuk sebagian umat Muhammad saja sebab hartamu tidak
akan cukup untuk dibagikan kepada seluruh umat Muhammad.”
Zaid berkata: “Ya, untuk sebagian umat Muhammad.
Zaid kemudian kembali menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
menyatakan kalimat syahadat “Asyhadu al Laa Ilaaha Illallaahu, wa Asyhadu Anna
Muhammadan Abduhu wa Rasuuluhu”. Ia beriman dan membenarkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Al-Hakim dalam kitab Mustadrak dan
men-shahihkannya).
Cobalah perhatikan dialog yang panjang tersebut, sebuah pendirian dan kesudahan
yang mengesankan. Semoga kita dapat meneladani junjungan kita nabi besar
Muhammad. Meneladani kesabaran beliau dalam menghadapi beraneka ragam manusia.
Dan dalam mendakwahi mereka dengan lemah lembut dan santun. Memberikan motivasi
bila mereka berlaku baik, serta menumbuhkan rasa optimisme di dalam diri
mereka.
‘Aisyahradhiyallahu ‘anha menceritakan:
“Suatu kali aku pergi melaksanakan umrah
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari kota Madinah. Ketika tiba
di kota Makkah, aku berkata:“Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
ayah dan ibuku sebagai tebusannya, engkau mengqasar shalat namun aku
menyempurnakannya, engkau tidak berpuasa justru aku yang berpuasa.” Beliau
menjawab: “Bagus, wahai ‘Aisyah!” Beliau sama sekali tidak mencela diriku.” (HR. An-Nasaai).